Seperti di daerah lain
Lombok,Sumbawa dan Bima, Dompu dahulu kala juga merupakan salah satu
daerah bekas Kerajaan atau Kesultanan. Bahkan konon Kerajaan Dompu merupakan
salah satu Kerajaan yang paling tua khususnya di bagian Indonesia Timur.
Arkeolog dari Pusat balai penelitian arkeologi dan Purbakala Drs.Sukandar dan Dra. Kusuma ayu pada saat
melakukan penelitian di Dompu beberapa waktu lalu pernah menyatakan bahwa dari
berbagai hasil penelitiannya di Dompu dapat disimpulkan bahwa Dompu (Kerajaan
DOMPO-Red) adalah Kerajaan paling tua diwilayah Timur Indonesia.
Namun
sayang, tidak seperti di Lombok,Sumbawa dan Bima dimana untuk mengetahui lebih
jauh tentang Kerajaan tempo dulu ketiga daerah tetangga tersebut banyak
didukung oleh berbagai bukti otentik yang dapat menggambarkan tentang peristiwa
sejarah tempo dulu,sedangkan di Dompu bukti otentik untuk mendukung keberadaan
sejarah masa lalu tampaknya masih sangat kurang sekali bahkan bisa dikatakan
hampir sudah tidak ada sama sekali. Barangkali inilah merupakan salah satu
tugas dan kewajiban khususnya bagi kalangan generasi muda di daerah ini untuk
lebih bekerja keras agar berbagai tabir misteri sejarah tempo dulu dapat segera
terungkap meskipun hal itu membutuhkan perjuangan dan usaha yang cukup menyita
waktu bahkan material sekalipun. Upaya pemkab Dompu dalam rangka untuk mencapai
hal tersebut patut kiranya didukung oleh semua pihak,bahkan pemkab Dompu
sendiri telah banyak berupaya dan tentunya pekerjaan tersebut akan sukses
apabila selalu mendapat dukungan serta do,a restu dari seluruh lapisan
masyarakat yang ada dan jangan malah pekerjaan itu dianggap hanya akan membuang
energi serta mubazir saja. “Orang bijak mengatakan,terlalu sombong dan munafik
apabila kita melupakan sejarah kita sendiri”, semoga hal itu tidak akan pernah
terjadi, amin.
Sejarah mencatat,di dompu sebelum terbentuknya kerajaan konon didaerah
ini berkuasa beberapa kepala suku yang disebut sebagai “NCUHI” atau Raja Kecil,
para ncuhi tersebut terdiri dari 4 orang yakni
Ncuhi Hu,u yang berkuasa
diwilayah kekuasaan daerah Hu,u (Sekarang kecamatan Hu,u Dompu – Red), kemudian
Ncuhi Saneo yang berkuasa didaerah Saneo dan sekitarnya (sekarang masuk dalam
wilayah Kecamatan woja Dompu), selanjutnya Ncuhi Nowa dan berkuasa didaerah
Nowa dan sekitarnya serta Ncuhi Tonda berkuasa diwilayah kekuasaannya yakni di
sekitar Tonda dan saat ini masuk dalam wilayah Desa Riwo kecamatan woja Dompu.
Diantara
keempat Ncuhi tersebut yang paling terkenal konon yakni Ncuhi Hu,u. menurut
cerita rakyat yang ada bahwa,konon di negeri Woja berkuasa seorang Ncuhi bernama “Sang
Kula” yang akhirnya mempunyai seorang
anak perempuan bernama “Komba Rame”.
Ncuhi ini kemudian terkenal dengan nama Ncuhi “Patakula”. Pada saat itu konon terdamparlah putra Raja
Tulang Bawang didaerah woja yang sengaja mengembara di daerah Woja bagian
timur. Singkat cerita akhirnya putra Raja Tulang Bawang ini kawin dengan putrid
Ncuhi patakula dan selanjutnya para
Ncuhi yang ada akhirnya sepakat untuk menobatkan putra Raja Tulang Bawang
tersebut sebagai Raja Dompu yang pertama. Pusat pemerintahannya konon disekitar
wilayah desa Tonda atau di desa Riwo masuk dalam wilayah kecamatan woja
sekarang.
Sedangkan
Raja ke-2 Dompu adalah bernama Dewa Indra Dompu yang lahir dari perkawinana
antara putra Indra Kumala dengan putra Dewa Bathara Dompu. Berturut-turut Raja
yang menguasai daerah ini adalah : Dewa Mbora Bisu,Raja dompu ang ke-3 adalah
yaitu yang menggantikan kakaknya Dewa Indra Dompu,cucu dari Indra Kumala. Dewa
Mbora Belanda : beliau adalah saudaranya
dari Dewa Mbora Bisu dan Dewa indra Dompu yang menjadi Raja ke-4 didaerah ini.
Dewa yang punya Kuda. Pengganti Dewa Mbora Belanda adalah putranya yang bernama
Dewa yang punya Kuda dan memerintah sebagai Raja yang ke-5,Dewa yang mati di
Bima.
Raja yang
dikenal sebagai seorang yang dictator,sehingga diturunkan dari tahta kerajaan
oleh rakyat Dompu ialah Dewa yang mati di Bima.
Beliau konon menggantikan ayahnya (Dewa yang punya Kuda) sebagai raja yang ke-6 di Dompu akan tetapi
karena hal itu akhirnya di bawa ke Bima dan meninggal di sana,dewa yang
bergelar “Mawaa La Patu”. Raja inilah
sebenarnya yang akan di nobatkan sebagai raja Dompu yang menggantikan dewa yang
mati di Bima,namun beliau ke Bima dan selanjutnya memerintah di sana. Pada masa
pemerintahan Raja inilah terkenal satu ekspedisi dari Kerajaan di pulau Jawa
yakni kerajaan Majapahit yang konon ekspedisi tersebut di pimpin oleh salah
seorang Panglima perang bernama Panglima Nala pada tahun 1344,namun ekspedisi
tersebut ternyata gagal.
Oleh
rakyat dompu raja yang satu ini sangat dikenal sebagai raja yang disiplin dalam
menjalankan pemerintahanya,teratur dalam social ekonomi maupun politik sehingga
masyarakat saat itu memberi gelar sebagai “Dewa Mawaa Taho”, semula raja ini dikenal dengan nama “Dadela
Nata”. Beliau adalah raja yang ke-7 dan
merupakan raja Dompu yang terakhir sebelum masuknya ajaran Islam di Kerajaan
Dompu,raja tersebut berkedudukan atau bertahta di wilayah Tonda.
Ekspedisi
Majapahit yang dipimpin oleh Panglima
Nala dan di bawah komanda Sang Maha Patih Gajah Mada mengalami kegagalan pada
ekspedisi pertama,selanjutnya menyusul ekspedisi yang ke-2 pada sekitar tahun
1357 yang di Bantu oleh Laskar dari Bali yang dipimpin oleh Panglima Soka.
Ekspedisi yang ke-2 inilah Majapahit berhasil menakklukkan Dompu dan akhirnya
bernaung di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Melihat fenomena diatas maka
dapat disimpulkan bahwa keberadaan Kerajaan Dompu tersebut ternyata sudah ada
sebelum Majapahit,hal itu juga dapat dibuktikan dalam isi sumpah Palapanya sang
Gajah Mada dimana dalam isinya sumpahnya itu disebutlah nama kerajaan
DOMPO (Dompu-Red) sebagai salah satu
kerajaan yang akan di taklukkan dalam ekspedisinya tersebut.
Kesultanan Dompu.
Pada abad
ke-XIX di Dompu saat itu memerintah raja-raja yang lemah,Kerajaan di kacaukan
oleh berbagai pemberontakan pada tahun 1803 yang memaksa memerlukan campur
tangan pihak residen. Sejak Sultan Abdull Azis,putra Sultan Abdullah yang
mengganti Sultan Yakub tidak banyak berbuat untuk memajukan kerajaannya.
Seluruh kerajaan antara tahun 1810-1814 diancam perompak-perompak yang
menghancurkan desa-desa yang ada diwilayah dompu saat itu. Pada sekitar tahun
1809 Gubernur Jenderal Daendels menegaskan,Gubernur Van Kraam untuk
memperbaharui perjanjian dengan Dompu. Perjanjian tersebut diadakan di
Bima,begitu pula penggantinya sultan Muhammad Tajul Arifin I putra Sultan Abdull Wahab,Sultan Muhammad
tajul arifin I diganti oleh Sultan Abdull
Rasul II,adik beliau. Dari 5-12 April 1815 ketika tambora meletus
akhirnya sepertiga dari penduduk tewas dan sepertiga lainya berhasil melarikan
diri.
Sultan
Abdull Rasul II memindahkan Istana Bata (ASI NTOI) kini merupakan Situs Doro
Bata yang terletak di kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu ke Istana Bata yang
baru (ASI BOU) Karena itu beliau disebut dengan gelar “Bata Bou”, beliau diganti oleh putranya,Sultan Muhammad Salahuddin.
Salahuddin mengadakan perbaikan dalam system dan hokum pemerintahaan,beliau
menetapkan hokum adat berdasarkan hasil musyawarah dengan para alim ulama
sekaligsu menetapkan hokum adat yang dipakai adalah hokum Islam yang berlalu
diwilayah kekauasaanny. Dalam
menjalankan pemeerintahaannyaSultan dibantu oleh majelis hadat serta majelis
hokum mereka itu dalam tatanan kepangkatan hadat dan hokum,mereka
selanjutnya mereka disebut
manteri-manteri dengan sebutan “Raja Bicara,rato rasana,e, rato perenta,dan
rato Renda” mereka tergabung suatu dewan hadat,merupakan badan kekuasaan yang
mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan sultan.
Hadat juga
merupakan kelengkapan pemerintahaan yang berfungsi menjalankan hokum agama yang
di kepalai oleh “Kadi” atau sultan menurut keperluannya. Seperti sultan-sultan sebelumnya,salahuddin
tetap melakukan hubungan dengan pihak pemerintah kolonial Belanda. Menurut Zolinger,sejak mengadakan perjanjian
dengan kompeni pada sekitar tahun 1669.
selanjutnya Sultan Muhammad salahuddin diganti leh putranya yakni Sultan
Abdullah. Pada masa pemerintahaannya beliau menanda tangani kontrak panjang
pada tahun 1886 silam. Beliau Selanjutnya
diganti oleh putrannya Sultan Muhammad Siradjuddin yang memperbaharui konrak
tersebut pada sekitar tahun 1905. Sejarah juga menyebutkan bahwa Sultan pertama
di Dompu setelah adanya likuidasi pergantian pemerintahan dari sistim Kerajaan
menjadi Kesultanan yakni Sultan
Syamsuddin I. Dan beliaulah merupakan pemimpin atau Raja yang pertamakali
memeluk agama Islam begitu sistim pemerintahaannya berubah menjadi Kesultanan.
Tahun 1958 Kesultanan dompu yang saat
itu dipimpin oleh Sultan dompu terakhir yakni Sultan Muhammad Tajul Arifin
(Ruma To,i), sistim pemerintahan di Dompu dirubah menjadi suatu daerah swapraja
Dompu dan Kepala daerah Swatantra tingkat II Dompu tahun 1958-1960.
Kerajaan Sanggar.
Sanggar
merupakan kerajaan kecil yang terletak disebelah barat laut Dompu disebelah
timur kaki gunung tambora. Pada tahun
1805 raja sanggar meninggal dan digantikan oleh saudaranya yakni Ismail ali
Lujang. Pada abad ke-XIX,sebelum tambora meletus dengan dahsyatnya, penduduk
saat itu berjumlah skitar dua ribu orang pada tahun 1808 dan meningkat menjadi
dua ribu dua ratus orang pada tahun 1815.
Ketika
Tambora meletus pada bulan april 1815 sebagian besar penduduknya meninggal,dan
tinggal dua ratus orang saja dan karena diserang leh perampok pada tahun 1818
mereka melarikan diri ke Banggo di Kerajaan Dompu,dan sebagaian ke Gembe
Bima. Dengan bantuan gubernurmen pada
tahun 1830 mereka akhirnya kembali ke sanggar. Gubernurmen memberikan bantuan
beberapa senapan dan amunisi untuk menjaga diri dari srangan musuh. Pada tahun
1837 penduduk Sanggar masih berjumlah sekitar tiga ratus tiga orang dan pada
tahun 1847 meningkat menjadi tiga ratus lima puluh orang atau jiwa. Rumah raja dibuat oleh rakyatnya
sendiri dengan bahan dari kayu pilihan secara gotong – royong. Raja dan para
pembesar kerajaan saat itu tidak di gaji tetapi tanah-tanah mereka dikerjakan
oleh rakyatnya. Pada awal abad ke- XX
atau sejak Belanda menguasai pulau sumbawa secara langsung,Kerajaan
Sanggar di hapus serta digabungkan dengan kekuasaan Kesultanan Bima hingga
sekarang ini.
Kerajaan Tambora.
Kerajaan
Tambora yang teretak pada suatu jazirah
yang pada ketiga penjuru dibatasi oleh laut. Disebelah timur berbatasan dengan
Kerajaan Sanggar dan Kerajaan Dompu dengan luas areal wilayah 459 pal
persegi. Seluruh kerajaan berada
disekitar kaki gunung Tambora (Gunung Arun). Sebelum Tambora meletus,air sudah
sangat kurang dan untuk mendapatkan air minum penduduk saat itu menggali sumur
di sekitar pantai. Rakyat tambora hidup dari berladang atau bercocok tanam
serta beternak dan meramu.
Ladang-ladang cukup dilembabpi oleh embun dan karena itu mereka bertanam
pada sekitar bulan agustus dan panen pada bulan desember. Kekayaan yang utama
adalah ternak kuda dan hasil kayu hutan .
setengah dari hasil Gubernemen dan setengah dari kuda-kuda tersebut
dikirim ke Kerajaan Bima pada tahun 1806 dan tahun 1807 berasal dari Tambora. Menurut Tobias,pada tahun 1808 Kerajaan
Tambora berpenduduk sekitar empat ribu iwa dan pada tahun 1815 atau setelah
tambora meletus penduduk kerajaan tambora sebagian habis tewas sebanyak tiga
puluh ribu jiwa lebih. Dan pada tahun 1816 sisa penduduk yang masih hidup
akhirnya meninggal semua karena diterjang banjir bandang dan banjir
lahar,selanjutnya bekas Kerajaan tambora yang sudah habis ditelan ganasnya alam
tersebut digabungkan dengan wilayah Kesultanan Dompu hingga sekarang ini. Bekas
Kerajaan tambora kini masuk dalam wilayah Kecamatan Pekat Dompu.
Kerajaan Papekat (Pekat).
Dimasa
pemerintahan kabupaten Dompu,nama Pekat saat ini merupakan nama sebuah desa
yang terletak di wilayah kecamatan Pekat – Calabay Dompu (Nama Ibu Kota
Kecamatan Pekat) Konon nama Pekat berasal dari kata “Pepekat”.
Kerajaan
kecil ini tidak banyak meninggalkan atau menyimpan bukti-bukti untuk mendukung
keberadaan kerajaan tersebut tempo dulu
bahkan hampir dikatakan tidak ada sama sekali,hanya nama Pekat kini merupakan
nama sebuah desa di kawasan lereng gunung Tambora. Catatan sejarah
menyebutkan,meskipun suatu kerajaan kecil tetapi Pekat saat itu teraus
diijinkan berdiri oleh pemerintah penjanjah VOC terutama untuk membendung
pengaruh dari Kerajaan Makassar ang sewaktu-waktu dapat membentuk kekuatan di
situ. Maka dengan Pekat pihak VOC
mengikat terus persahabatan yang baik sekali, tetapi akibat gunung
Tambora meletus,akhirnya penduduk di Kerajaan Pekat musnah seluruhnya kemudian
bekas kerajaan Pekat digabung kan dengan wilayah kekuasaan Kerajaan dompu
hingga sekarang ini.
Gunung Tambora Meletus pada tanggal 10 – 11 April 1815,
dalam catatan sejarah Dompu letusan Tambora yang paling dahsyat yakni letusan
pada tanggal 11 April 1815 yang mengakibatkan beberapa Kerajaan kecil yang
terletak di sekitar Tambora menjadi sasaran empuk musibah tersebut sehingga 3
Kerajaan kecil tersebut musnah. Pralaya (Malapetaka) tersebut tampaknya di satu
sisi berdampak positif bagi berkembangan Kerajaan Dompu, sebab setelah sekian
tahun lamanya dalam perkembangan selanjutnya wilayah Kerajaan (Kesultanan)
Dompu bertambah luas wilayahnya karena bekas wilayah 3 Kerajaan kecil pernah musnah akibat letusan Tambora tersebut
akhirnya masuk kedalam wilayah Kerajaan (Kesultanan) Dompu hingga sekarang ini.
Dengan bertambahnya wilayah Kesultanan Dompu tersebut (Pekat,Tambora dan
sebagian wilayah Kerajaan Sanggar) maka moment tersebut dinilai merupakan suatu
pertanda kelahiran baru bagi DOMPU BOU (Dompu Baru), yakni pergantian antara
Dompu Lama dan Dompu Baru. Peristiwa tersebut menggambarkan kelahiran wilayah
Dompu yang bertambah luas wilayahnya. 11 April 1815 Tambora meletus dengan
dahsyatnya, akibat letusan Tambora wilayah Dompu dikemudian hari bertambah
luasnya meliputi bekas Kerajaan Pekat, Kerajaan Tambora. DOMPU YANG BARU pun
akhirnya lahir. Oleh ahli sejarah Prof.DR.Helyus Syamsuddin.PHd, peristiwa 11
April 1815 tersebut akhirnya dijadikan patokan dan dasar yang kuat sehingga 11
April dijadikan sebagai hari lahir atau hari jadi DOMPU. Selanjutnya melalui
Peraturan Daerah (Perda) No.18 tanggal 19 Bulan Juni 2004 ditetapkan bahwa
tanggal 11 April 1815 sebagai hari lahir/hari jadi Dompu. (*).
PU BOU (Dompu Baru), yakni pergantian antara Dompu Lama dan
Dompu Baru. Peristiwa tersebut menggambarkan kelahiran wilayah Dompu yang
bertambah luas wilayahnya. 11 April 1815 Tambora meletus dengan dahsyatnya,
akibat letusan Tambora wilayah Dompu dikemudian hari bertambah luasnya meliputi
bekas Kerajaan Pekat, Kerajaan Tambora. DOMPU YANG BARU pun akhirnya lahir.
Oleh ahli sejarah Prof.DR.Helyus Syamsuddin.PHd, peristiwa 11 April 1815
tersebut akhirnya dijadikan patokan dan dasar yang kuat sehingga 11 April
dijadikan sebagai hari lahir atau hari jadi DOMPU. Selanjutnya melalui
Peraturan Daerah (Perda) No.18 tanggal 19 Bulan Juni 2004 ditetapkan bahwa
tanggal 11 April 1815 sebagai hari lahir/hari jadi Dompu. (*).